Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com
Showing posts with label Cerpen Sosial. Show all posts
Showing posts with label Cerpen Sosial. Show all posts

Saturday, January 13, 2018

SEPENGGAL EPISODE

Raisa gadis yang cantik, cerdas, dan ramah. Matanya teduh berbulu lentik. Berwajah oval, sebaris bibirnya yang manis berhias senyum. Anggun perawakannya, menyiratkan laksa pesona kemilau pelangi. Sesiapa yang memandangnya, akan berbilur pesona taresna karenanya. 

Aku, dengan segala yang ada, meretas puing-puing rindu di telaga hati yang paling dalam. Dengan wajah gelimis, membentuk raut yang biasa. Hanya memburai debu-debu jalanan, di balik suci cinta yang aku karamkan di hati Raisa. Begitulah! Cinta bermula rindu, dan desah seruling asmara pun bertaut puja, berkalang puji. 

"Aku mencintaimu, Raisa," kataku di saat senja berlabuh. Raisa diam. Berpaling pada raut senja yang mewarna jingga. Ada rasa sesak di dadaku. Entahlah! Raisa mungkin tidak mencintaiku. Aku harus memahami, siapa aku sebenarnya. Wajah awam dan harta pun tak ada. Maka, Raisa tidak mungkin memilihku sebagai kekasih, pangeran, dengan keistimewaan yang mewarna. Tetapi, biarlah, cinta ini berlabuh di dermaga tak berair, tanpa riak gelombang. Aku terhempas di lembah luka, nestapa.
*** 

Waktu menabuh perjalanan. Detak detik pun berlalu bersama garis-garis nasib sang insan. Akhirnya, labuh cintaku berhilir di hati Anna. Dialah tempatku berkeluh kesah. Menumpahkan sisa cinta yang tercampakkan. Dan Anna, menerimaku dengan segala adanya. Cinta pun berpeluk rindu, berkubang asmara. Begitu pun dengan Raisa. Wajahnya yang cantik tidak sulit untuk memperoleh pendamping hidup. Raffi, adalah tempat ia berlabuh. Dengan kemewahan harta yang melimpah. Semula, semua berjalan dengan harap dan asa. Namun, seiring sang waktu, Raffi yang termasuk play boy kelas jet-set, kembali pada gejolak tak puas hanya dengan satu wanita. Raisa pun tersisih, terbuang, dan bahkan tercampakkan. 

"Mau ke mana lagi, Mas?" Malam itu Raisa berkata pada Raffi yang berbaju necis, memasuki mobil avanzanya.
"Urusanku!" Ketus, acuh, Raffi  menjawab tanpa menoleh.
 Dada Raisa bagai dihantam berjuta peluru kendali. Hatinya miris, teriris sakit. Air mata membuncah, jatuh di pipinya yang halus dan cantik. Sesal pun terkuak dari hatinya yang terdalam. 

"Inikah balasan dari salah pilih?" Raisa paham, bagaimana sakitnya hatiku saat ditolak cinta. Bukan! Bukan hanya penolakan, tapi lebih dari itu, sebuah penghinaan. Aku dilecehkan. Aku dihinakan. Hanya karena aku bukan orang berharta. Tentu aku sakit hati. Tapi, begitulah kehidupan. Rencana Tuhan, jauh lebih lebih indah dari yang kita perkirakan. 
"Hanya karena aku miskin?"
"Tentu!"
"Tidakkah harta itu hanya titipan?"
"Itu menurutmu. Menurutku, harta itu yang akan membuatku bahagia!"
"Subhanallah," aku mengelus dada. Sakit!
*** 

Aku bahagia dengan keadaanku saat ini. Meski episode cinta pertamaku adalah Raisa. Tapi, Tuhan memberikan jalan lain untukku. Anna adalah yang terakhir, meski bukan yang pertama. 

"Mas, ada tamu di luar," Anna, istriku berkata pagi itu.
"Siapa?" Jawabku.
"Entah! Coba saja lihat di luar." Jawab istriku. Aku letakkan majalah sastra yang tengah kubaca. Kemudian aku melangkah ke luar. Betapa aku terkejut, ternyata di luar Raisa berdiri dengan raut kesedihan. 
"Kok ada di sini?" Aku bertanya heran padanya. Ia hanya menunduk. Raut wajahnya semakin buram, muram. Ada laksa kepedihan yang ia tahankan. 
"Mas, suruh masuk saja!" Istriku berkata dari dalam. Aku pun mengajak Raisa masuk. Ada rasa enggan pada mulanya. Tapi, setelah dipaksa, akhirnya ia pun mau. 
"Apa yang terjadi dengan dirimu, Raisa?" Di ruang tamu kami berbincang. Raisa terlihat begitu sedih. Dari kelopak matanya yang lentik, air mata membasahi pipi. Masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya. Tentu, rasa itu, yang dulu pernah hadir di kelopak hatiku, masih terus membayang. Menampilkan diorama kisah cinta yang lalu terkikis oleh bingkai zaman. 
"Anna adalah bagian dari jiwaku," aku mencoba menenangkan pikirku dengan realitas hidup. 

Kemudian Raisa bertutur. Menceritakan kisahnya yang pilu. Hidup dengan Raffi adalah neraka. Tidak ada keharmonisan. Semua berakhir dengan derai air mata. Ia tercampakkan. Hatinya lebur, hancur oleh ulah suaminya. Kata-kata kotor begitu mudahnya terlontar. Pukulan dan tamparan begitu saja melayang. Begini salah, begitu salah. Tidak ada sejumput harmonis yang bisa ia dapatkan dari pernikahan itu. Raisa menyesal. Menangis di dalam pelukan Anna yang mencoba menenangkannya. Aku galau, di antara persimpangan pikiran yang tak bertuju. 

Entahlah! Aku menatap langit-langit rumahku. Siluet diorama masa lalu terbayang di benakku. Saat aku terdampar, terkapar oleh jalinan cinta yang terbakar. Sementara, di depanku kini, pelakon drama kehidupan cinta itu ada. Mengisahkan segala kemelut keadaan cintanya. Menceritakan penyesalannya. Dengan derai air mata yang terus tertumpah. Aku mengelus dadaku. Begitu sakit, bergetar amarah yang meluap. 

"Tak perlu Kau kasihani!"
"Maafkanlah! Ia telah menyesal dengan perbuatannya."
"Jangan! Ia perempuan yang telah mencampakkanmu!"
"Tidak! Memaafkan itu jauh lebih utama!" 

Begitulah! Keadaan menghentak hatiku. Dadaku bergoncang. Antara marah dan rasa kasihan. Aku berada di persimpangan. Ragu menghantam hatiku. 

"Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?"
*** 

Anna adalah yang terakhir bagiku. Dialah matahariku, mutiara yang selalu merbakkan bunga-bunga cinta. Aku mencintainya. Sungguh, aku adalah jiwanya. Dan dia adalah bagian dari jiwaku. Apa pun yang terjadi, Anna adalah sepenggal napas yang selalu kuhela dalam setiap tarikan detak jantungku. 

"Mas, sudah sekian lamanya kita menikah," kata Anna suatu hari.
"Ya, kenapa?" Jawabku acuh tak acuh.
"Tapi,...kita belum dikaruniai si buah hati."
"Tuhan belum berkenan."
"Aku khawatir, Mas!"
"Sabar, dan terus berdoa!" 

Memang benar. Sampai detik ini aku belum dikaruniai si buah hati. Seorang anak yang akan menjadi pelipur duka. Menjadikan suasana indah bersama celoteh nakal anakku. Itu semua hanya sebuah fatamorgana. Hayalan-hayalan yang terus saja membayang. Menghantam relung hatiku. Meski aku tidak pernah putus pengharapan, karena setiap aku dan istriku memeriksakan diri ke dokter, ia menjelaskan bahwa aku dan Anna, istriku, sehat-sehat saja. Hanya saja, Allah swt belum berkenan memberinya. 

"Aku rela,... Mas menikah lagi," senja ini Anna berkata sambil merebahkan wajahnya di bahu kiriku. Aku tersentak, kaget. Tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
"Makdud kamu, An?"
"Raisa mencintaimu dengan sepenuh jiwa." Aku semakin terkejut.
"Tidak!" Kataku tegas. "Aku tidak ingin terluka untuk kedua kali. Dan Engkau tahu itu!" Aku tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Anna berbicara begitu. Tentang Raisa, orang yang tidak ingin aku ingat lagi namanya. Tapi ini Anna yang memulai. Istriku yang sudah menjadi bagian dari darah dan dagingku. Aku tidak ingin menyakiti hatinya sedikit pun. Anna telah menyembuhkan luka dalam, di relung hatiku. "Tolong, jangan katakan itu lagi," aku memandang Anna. Di telaga matanya ada bulir air mata. Aku percaya, cinta Anna padaku tak akan pernah surut. Sampai kapan pun. Anna tersenyum. Teduh wajah itu berhias bibir takwa. Sebening biru langit di senja itu. Kemudian ia bertutur. Bahwa Rasul pernah bersabda;

"Cintailah seseorang itu secara biasa-biasa saja, karena bisa jadi orang kamu cinta menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah terhadap seseorang itu secara biasa-biasa saja, sebab bisa jadi orang kamu benci menjadi orang yang kamu cintai." 

Mengapa harus Raisa? Tak adakah wanita lain dari dia? Meski harus kuakui bahwa di balik benci tersimpan cinta, di balik marah ada rindu. Tapi, waktu telah mengikis segalanya. Aku telah berusaha tuk melupakannya. Dan itu bisa dengan datangnya cinta Anna. Oh, betapa sebuah si malakama. Ketika Anna, dengan mahkota cinta suci, menawarkan sebentuk cinta lama. Elegi kasih yang tumpah di alam mayapada. Aku gugu dalam mangu yang sunyi, sepi. 

"Sungguh! Aku ingin Raisa menjadi bagian dari kisah hidup kita." Anna kembali berucap tentang Raisa. Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi antara keduanya. Adakah konspirasi rahasia? Mungkinkah tersirat ikatan janji? Aku masih percaya Anna, sebagaimana ia tidak mungkin berbuat tidak baik terhadapku. Sekian lamanya aku berumah tangga dengannya, pastinya kami sudah paham luar-dalamnya hati kami masing-masing. 
"An, sebegitu pentingkah Raisa dalam hidupmu?"
*** 

Raisa terbaring tidak berdaya di ruang ini. Sebuah Rumah Sakit paling baik di kotaku. Bau obat-obatan khas menyeruak di rongga hidungku. Semula aku menolak diajak Anna untuk menjenguk Raisa. Rasanya sudah tidak perlu lagi. Tapi, Anna begitu merajuk. Ada semacam ikatan batin yang teramat kuat di antara mereka. Aku pun meloloskannya. Kupandangi tubuh Raisa yang tak berdaya. Selang infus menembus lengan kirinya. Tetes-tetes air itu kulihat satu-satu jatuh dari dalam tabung. Mengalir ke tubuh Raisah yang terlihat kurus. Kupandangi matanya, terpejam. Lentik bulu matanya masih terlihat. Bibirnya yang pucat, seakan menerbitkan senyum. Cepat-cepat aku berpaling. Sedikit demi sedikit mata Raisa terbuka. Air mata mengalir di pelupuk matanya. Anna dengan cekatan mengambil tissu dan membersihkannya. Raisa tersenyum. 

"Terima kasih An! Kau mau datang," bisik Raisa hampir tak terdengar.
"Aku datang bersama Mas ***r. Kau harus cepat sembuh!"
"Benarkah?" Sinar matanya berbinar. Wajahnya terlihat cerah. Ada gumpal bahagia karenanya.
"Benar, Raisa!"
"Maafkan aku, An!"
"Tidak ada yang perlu dimaafkan!"
"Aku telah merepotkanmu!"
"Tidak! Aku tidak merasa repot."
"Tak ada duanya, hati yang setulus hatimu, An!"
"Lupakan saja!" 

Kemudian Anna menarik tanganku. Dipertemukannya tanganku dengan tangan Raisa. Aku menurut saja. Meski ini di luar mauku. Agama pun melarangnya. Tapi, kuanggap ini sebuah mudharat. Aku menggenggam tangan Raisa erat. Seakan kualirkan energi positif kepadanya. Kulihat mata Raisa kembali mengembang. Air mata mengalir deras. 

"Maafkan aku, Mas!" Aku tidak menjawab. Tepatnya, tidak mampu menjawab. Air mataku tumpah. Bagaimana pun, Raisa pernah ada dalam hidupku. Cinta Raisa pernah bersemayam di relung hatiku. Ia pernah mewarnai bilik hatiku dengan cinta. Sepenggal episode yang ia campakkan karena mengira cinta itu terdapat pada harta. Dunia telah menipunya. Tiba-tiba pegangan tangan Raisa lepas. Matanya terpejam. Sekuntum senyum terpaku di bibir indahnya. 
"Tidaaa....k," Anna menjerit sejadi-jadinya. Aku mendesah, "Innalillah wainna ilaihi roji'un." Para awak medis terburu-buru datang. Mereka berusaha merebut nyawa Raisa dari takdir. Bergumul dengan Malaikat Maut. Berupaya mengembalikan napas Raisa yang tersendat. Aku masih sempat melihat, senyum Raisa yang ranum. Dan lirik sinar matanya yang teduh ranau. 

"Adakah aku jatuh cinta lagi?"
***
x

Wednesday, February 19, 2014

MANUSKRIP NABI



MANUSKRIP NABI
 
Sumber gambar: http://alphandi6.wordpress.com/2009/04/03/manuskrip-surat-nabi-kepada-kaisar-heraklius/
Tiba-tiba cahaya hilang, lenyap. Mentari bersembunyi entah di mana. Gelap, keadaan begitu gulita. Aku meraba dan terus meraba. Mencari cahaya yang hilang. Menemukan cercah yang mungkin tertinggal. Sia-sia, cahaya itu lenyap begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa pamit. Hilang bak ditelan malam.

Aku menoleh ke sana ke mari. Ke kanan, kiri, atas, di bawah tempat tidur. Di pojok-pojok kamar, di atas lemari, di balik tirai selambu. Gelap, masih pekat, halimun kegelapan mencuri penglihatanku. Aku mulai bingung, mencoba berpikir entah. Hirap cercah meluruh pekat. Gelap dan calemot[1]!

Aku menengadah. Langit tak berbintik, bintang tak tampak. Sedetik, kuperhatikan cakrawala, berderit pintu langit menyingkap tirai. Pintu pun terkuak, kelebat cahaya berpendar. Melayang, membawa obor keabadian. Mendekat, semakin dekat, dan hinggap di hadapanku. Begitu saja, sekitar pun benderang, memendar cahaya dari lontar langit yang turun bersama kelopak senja.
***

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak boleh ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai.

Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”[2]
***

"Aku menemukan manuskrip ini," kataku pada temanku, Zidqi sore itu.
"Apa itu?" Zidqi penasaran.
"Manuskrip."
"Manuskrip apaan?" Zidqi mencoba merebut naskah kuno itu dari tanganku. Memegangnya, takjub, heran. Realitas sosialita dari manusia Agung, Rasulullah saw.

"Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah," kalimat indah dari serat kata yang berjimat wahyu. Jiwa manusia, rasa peduli sosial yang beliau kedepankan. Bukan Rasulullah sebagai keagungan purna yang Beliau ungkapkan, tetapi Muhammad bin Abdullah. Ana Abdullah[3], manusia biasa yang berempati luar biasa, dengan kehidupan biasa, tetapi dengan ruh ikhtiar yang sangat luar biasa.

"yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka." Terjabarkan sebagai bentuk perjanjian, dengan kewajiban untuk memenuhi janji tersebut dengan sebenarnya.

"Berjanji kepada orang Kristen?" Zidqi masih tidak percaya.
"Benar kan? Manuskrip ini menjelaskan seperti itu." Aku mencoba menarik kesimpulan.
"Bukankah Kristen itu kafir dalam pandangan Islam?!" Zidqi seolah bertanya dalam nada pernyataan. Masih kulihat bingung.

Kemudian aku menjelaskan, bahwa orang kafir ada dua golongan. Kafir harbi[4] dan kafir dzimmi[5]. Kafir harbi adalah orang kafir yang selalu mengganggu dan menyakiti kaum muslim. Kafir ini yang harus kita tumpas, hingga mereka menyatakan siap untuk tidak mengganggu lagi. Sedangkan kafir dzimmi adalah orang kafir yang hanya tidak mengakui kebenaran Islam. Mereka tidak mengganggu, hidup dalam sosial kemasyarakatan, juga saling menolong dalam berkehidupan. Darah mereka, harus dilindungi.

Zidqi terdiam. Mungkin ia mencerna apa yang barusan aku katakan. Dan rupanya ia paham. Mengerti dengan apa yang berusan aku jelaskan. Meski tentu saja, sedikit banyak masih ada yang menganjal di benaknya, karena doktrin yang selama ini ia pahami akan memberikan dampak yang lebih dalam.

Rasulullah saw menyatakan bahwa Beliau bersama mereka. Orang-orang Kristen itu sebagai saudara. Sahabat yang seiya sekata, dalam urusan sosial kehidupan. Tentu, tidak dalam urusan aqidah. Maka, dusta apa yang masih disangsikan dalam pengakuan ini?

Sesaat Zidqi membolak-balik transkrip kuno yang ada di tangannya. Ada perasaan takjub di pikirannya. Ketika, dari naskah itu berpendar cahaya yang berkilauan. Cahaya kebenaran, berkas sinar keabadian.

"Dari mana Kaudapatkan naskah ini, Di?" Tak kusangka Zidqi menanyakan itu kepadaku. Aku tergeragap, tidak tahu mesti berkata apa. Kemudian aku menoleh ke arahnya, tersenyum, dan Zidqi pun turut tersenyum. Aku lega.

"Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka."

Zidqi masih terlihat bingung. Ia memandang ke langit, ke arahku, kemudian ke manuskrip yang ia pegang. Membaca naskah kuno itu dengan saksama. Sekali lagi, dan sekali lagi, bahkan sudah berkali-kali. Hantinya masih diliputi tanda tanya yang tidak berkesudahan. Ternyata ada naskah agung yang jauh lebih menghormati sebuah makna toleransi. Arti dari sebuah ikatan sosial di antara kehidupan berbangsa, bernegera, dan beragama. Islam begitu toleran, mengakui hak asasi dari setiap individu, sehingga tidak semuanya dijadikan sebagai objek sama rata. Baik sebagai pemeluk Islam atau di luar Islam.

Rasulullah saw berjanji dalam sebuah tekat yang suci untuk membela kehormatan Kristen. Beliau akan terasa senang jika mereka (Kristiani) senang, dan merasakan susah jika mereka susah. Darah mereka perlu dibela dengan pertumpahan darah, bahkan dengan nyawa sekalipun. Subhanallah, Mahasuci Allah dengan segala kehendaknya!

“Tapi, bukankah Ibnu Taimiyah menghukumi haram orang yang mengatakan selamat hari Natal?” Zidqi masih bimbang. Doktrin yang selama ini ia pahami berkecamuk di dalam pikirannya dengan segala konsekuensinya. Mencoba membalik setiap persoalan yang logis menjadi samar. Sesamar persoalan mengucapkan “Selamat Hari Natal.”

“Itulah perbedaan, Qi. Ada semacam kaidah umum yang menyatakan bahwa di dalam perbedaan itu terdapat hikmah. Sehingga kita tidak merasa benar sendiri. Merasa menang sendiri. Orang lain salah, sedangkan ana[6] yang paling benar. Sebuah persoalan ananiyah[7] yang berarti egois dan individualis.” Aku mencoba menjabarkan makna khilafiyah[8].

Demikianlah, jika memang persoalannya adalah ucapan “selamat,” tentu hal ini jauh dari koridor aqidah, bahkan ada yang berani mengatakan bahwa ucapan itu jauh lebih dahsyat dan lebih “kafir” daripada orang berzina, korupsi, membunuh, mencuri, merampok, dan segala bentuk perbuatan dosa besar lainnya. Logika model apa ini? Sudah jelas terungkap pembelaan yang jauh lebih mendalam daripada hanya sekadar ucapan “selamat.” Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Dusta apalagi yang mereka makarkan dalam keagungan naskah ini?
***

Berlalu sang waktu.
John adalah tetangga dekatku. Aku begitu akrab dengannya. Meski keyakinan kita berbeda, tetapi tidak membuat perbedaan itu sebuah pertentangan, perpecahan. John menghormati saya sebagai muslim, sebagaimana aku pun menghormati John sebagai kristian. Betapa indahnya ketika kita saling berbagi. Tanpa melihat status sosial individu. Tanpa memandang keyakinan dari diri kita masing-masing. Ada semacam perasaan yang terus memupuk rasa cinta, untuk terus berupaya memberikan yang terbaik bagi siapa saja. Lingkungan dan alam sekitar.

Masih terngiang beberapa waktu yang lalu, saat aku dan segenap kaum muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri. Dengan senyum yang begitu indah, ikhlas, dan ikut bergembira, John datang bertandang ke rumahku.

“Selamat Hari Raya Idul Fitri, Di!” Ucap John sambil menjabat erat tanganku. Aku pun membalas jabatan erat tangan John dengan gembira. Aku tidak boleh menolak ucpan tulus John. Jika tidak, dimanakah timbal balik dan toleransi yang seharusnya kita berikan sebagai agama yang kaffah[9] dan berperinsip rasa sosial?

“Terim kasih John,” itulah jawabanku terhadap rasa kepedulian sesama teman.

Kebetulan saat itu, Zidqi juga bershilaturrahmi ke rumahku. Tentu ia juga berjumpa dengan John temanku. Zidqi sudah tahu kalau aku berteman akrab dengannya. Sebagaimana juga ia tahu, bahwa John adalah Kristiani yang juga berteman dengannya, meski tidak terlalu akrab.

“Selamat Idul Fitri, Zid!” John juga menyalami Zidqi pada saat itu. Dengan ucapan, ya dengan ucapannya yang tulus. Zidqi hanya diam. Terlihat ia agak kikuk, ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya. Tapi, John tidak peduli. Kami pun akrab bercengkerama di beranda rumahku dengan aneka gu’ganggu’[10].

25 Desember
Sebagaimana biasa setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani merayakan Hari Natal. Terlepas dari kebenaran hari lahir Yesus, Nabi Isa, maka pada tanggal tersebut oleh sebagian kalangan Nasrani diyakini sebagai hari lahir Yesus. Maka mereka berupaya untuk menyambut hari lahir tersebut dengan berbagai tradisi upacara yang mungkin saja, dari waktu ke waktu bisa mengalami perkembangan, atau pun perubahan.

Tak terkecuali dengan John. Ia juga tengah mengadakan misa, atau ritual keagamaan yang ia yakini. Di gereja, ya tempat John melakukan ritual ibadah agamnya. Aku yang beragam Islam, tentu saja tidak masuk dalam ritual tersebut. Tetapi, sebagai penganut Agama yang baik, aku tidak pernah mengganggu kegiatan greja dan lainnya. Biarlah, mereka melakukan ritual keagamaannya, sesuai dengan keyakinannya. Lakum dinukum waliya din.[11]

Hari itu, aku duduk-duduk bersama Zidqi di depan masjid Raya. Masjid yang begitu megah di kotaku. Setelah melakukan sholat Dhuha, aku dan Zidqi ngobrol apa saja. Termasuk juga manuskrip Nabi yang aku temukan beberapa waktu yang lalu.

“Kemrean aku membaca sebuah artikel. Irene Subandono, menjelaskan tentang hakikat Hari Raya Natal. Bahwa Yesus, Nabi Isa, tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember!” Zidqi dengan berapi-api mengatakan itu kepadaku.
“Terus, jika begitu?”
“Ya, tentu mereka salah!”
“Kalau mereka tidak mau dengan kesalahan yang mereka persalahkan?”
“Itu juga!”
“Apakah kita harus paksakan?”
“Tidak juga!”
***

Manuskrip Nabi, begitu indah pengakuan dan perlindungan itu untuk kaum siapa saja. Siapapun mereka, selama masih di dalam perlindungan Nabi, mengikuti aturan sosial Nabi pada saat itu, maka mereka akan aman, dan darah mereka dalam perlindungan yang teramat sangat. Ritual keagamaan mereka terlindungi, terpelihara di bawah pengawasan baginda Rasulullah saw.

Betapa naif, ketika persoalan sosial dibawa ke persoalan aqidah. Lebih-lebih lagi dengan segala cara, daya, dan upaya untuk memenangkan apa yang mereka ‘yakini’ kebenarannya. Pemahaman yang dipaksakan, kebenaran yang tidak boleh tiak harus mereka terima. Meski harus menyakiti hati temannya, tetangganya, saudaranya, atau pun orang lain yang tidak sekata dengan mereka.

Persoalan ‘selamat Natal’ tidak akan pernah selesai. Selalu ada, dan jika tidak akan terus diadakan. Dengan sengaja, mengharap adanya kekeruhan dan kekisruhan suasana. Maka, kekeruhan kondisi yang mereka ciptakan adalah bagian dari sebuah propaganda untuk menyerang, menindas, dan melukai orang lain. Na’udzubillah min dzalik![12]

Dari arah seberang, tempat aku dan Zidqi membahas persoalan ‘Selamat Natal’, Johan melambaikan tangan. Ia dan keluarganya, serta beberapa sahabatnya baru saja melakukan sembahyang di greja dalam rangka Natal. Dari wajahnya tersungging senyum kebahagiaan. Dengan ketulusan persahabatan, aku menyalami John.

“Selamat Hari Natal, John!” Aku berucap dengan senyum tulus. Zidqi yang ada di sisiku tidak tinggal diam. Ia pun menyalami John.
“Selamat,.....siang John!” John tersenyum, tertawa dan sedikit terbahak.
“Terima kasih, Sahabat!” Jawab John mantap, lugas!

Madura, 27 Desember 2013
***


[1] Bahasa Madura; gelap yang teramat sangat.
[2] Transkip ini saya salin dari sebuah artikel di blognya Mas Edi Akhiles
[3] Aku hamba Allah
[4] Keras, garis keras, yaitu orang kafir yang memerangi kaum muslimin.
[5] Perlindungan, orang kafir yang wajib dilindungi.
[6] Bahasa Arab; saya
[7] Egoisme, mementingkan diri sendiri
[8] Perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam
[9] Meliputi seluruh alam, menyeluruh
[10] Bahasa Madura; camelan
[11] Bagimu agamu dan bagiku agamaku (QS. al-Kafirun)
[12] Aku berlindung kepada Allah dari hal tersebut.

Monday, February 17, 2014

13 MALAM PURNAMA



13 MALAM PURNAMA
 
Sumber gambar: http://darknessandy.blogspot.com/2012/02/legenda-werewo.html
“Mustahil dan tidak masuk akal.”
“Tapi ini nyata, Sri!”
“Mana mungkin manusia bisa jadi binatang?”
“Ini terjadi pada diriku sendiri. Apa kamu tidak percaya padaku?”
“Bukan tidak percaya, tapi aneh saja!”

Lycanthropy adalah proses transformasi manusia ke binatang. Dan itu terjadi pada diriku sendiri. Aku tidak mengerti dengan kejadian ini. Pasti orang yang mendengar akan mencemooh. Mengatakan bahwa aku bohong. Orang munafik yang tidak bisa dipercaya.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa angka 13 adalah angka sial. Angka yang tidak diinginkan dalam kehidupan ini. Bahkan dalam kehidupan nyata, di negera-negara maju pun, angka 13 menjadi angka monster. Sehingga hotel berbintang pun enggan meletakkan angka 13 di kamarnya. Solusinya menjadi 12A dan 12B (ganti dari angka 13).

Begitu juga denganku. Setiap tanggal 13 bulan purnama aku akan berubah menjadi seekor serigala. Seekor lycan liar atau kata orang Madura menjadi macan remrem. Ada juga yang mengatakan anjing hutan. Apakah karena tanggal 13?

Malam ini purnama. Begitu juga pas tanggal 13. Itu artinya sebuah kekuatan yang luar biasa akan terjadi dalam diriku. Kekuatan yang tidak bisa kukendalikan. Aku tidak kuasa terhadap transformasi diri menjadi seekor serigala liar. Serigala jadi-jadian yang akan mencari mangsa. Bergidik tubuhku jika ingat apa yang akan terjadi pada diriku malam ini.

“Sri, malam ini malam purnama tanggal 13”.
“Ya, kenapa?” kata Sri santai. Tidak peduli dengan kecamuk hatiku saat ini.
“Kamu tidak percaya kan, bahwa aku bisa berubah menjadi seekor serigala saat malam seperti ini?”
“He eh....”. Sri masih acuh tak acuh.
“Ikut aku malam ini!”
“Boleh....”.

Aku dan Sri, kekasihku menuju ke tanah lapang di hutan. Jauh dari keramaian. Aku akan membuktikan pada Sri, bahwa apa yang kukatakan bukan dusta. Tapi kisah nyata yang akan menjungkir-balikkan ideologi. Akan kutunjukkan pada Sri, bahwa yang mustahil menjadi nyata.

Tengah malam aku dan Sri  sampai di tempat yang dituju. Purnama begitu gagah memancarkan sinarnya. Jam menunjuk 12 malam. Sebuah kekuatan luar biasa telah menyerangku. Tiba-tiba badanku panas luar biasa. Aku menggeliat. Sri jadi bingung melihat aku demikian.

Ketika purnama bertahta di langit dengan gagahnya. Saat itu pula bulu-bulu kasar tumbuh di sekujur tubuhku. Kuku-kuku tajam dan taring juga muncul dengan sendirinya. Entah kekuatan apa yang merasuk dalam tubuhku. Aku meraung, menjerit, mengaum, dan aku sudah bertransformasi menjadi seekor srigala. Sri kaget, tidak menyangka hal yang tidak ia yakini bisa terjadi.

“Auuu..........ghhhhh”.  Aku serigala, macam remrem, dan anjing hutan mengaum. Melolong di tengah hutan, malam purnama tanggal 13.

Sri mulai ketakutan. Dan aku pun mulai menyerangnya. Sri berusaha berkelit. Tapi tenaga perempuan Sri tidak seberapa. Tidak begitu lama aku telah mencabik tengkuknya, dan mengisap darahnya. Sri pun lambat laun tubuhnya menggeliat, mulutnya melolong, menjerit, dan mengaum di kesepian hutan belantara. Transformasi Lycan yang kedua terjadi.

“Auuuu........gghhhhhh”. Aku melolong.
“Auuuu........gghhhhhh”. Sri menempali.

Di tengah hutan dan di bawah sinar penuh purnama, aku dan Sri melolong untuk mencari mangsa yang lain. Berhati-hatilah kepada semua warga di setiap malam purnama tanggal 13. Aku dan Sri serigala haus darah siap menerkam Anda.

Malam semakin larut. Aku dan Sri, dua serigala jadi-jadian berkeliling di tengah hutan. Di bawah sinar purnama. Dari satu bayang kegelapan pohon ke pohon lainnya. Mencari mangsa. Dan haus darah. Lapar, ingin menerkam setiap sisi kehidupan amnusia. Sebuah aspek sosial yang tergadai oleh gendam atau ilmu hitam. Aku dan Sri terus mengaum.

Bulan sudah tinggal separuh. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Aku dan Sri mengibas-ngibaskan ekor. Tidak ada yang bisa dijadikan mangsa lain di malam purnama tanggal 13 ini. Aku dan Sri merasakan sakit yang luar biasa. Bulu-buluk kasar pada tubuhku dan tubuh Sri, sedikit demi sedikit berlepas. Kuku-kuku tajam juga tanggal satu persatu dengan iringan aum yang menyisakan kepedihan. Kesakitan yang luar biasa.

Seiring dengan terbenamnya purnama, dan fajar di arah timur menyingsing, aku dan Sri tergolek lemas di bawah pohon besar di tengah hutan.

“Mas, apa yang terjadi dengan kita semalam?” dengan sisa-sisa tenaganya, Sri berkata heran kepadaku. Aku yang juga tergeletak lemas hanya mampu menggeleng. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jelasnya, aku seperti yang dikendalikan oleh kekuatan di luar kehendakku. Aku mendesah.
“Aku juga bingung. Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku, dan juga dirimu.” Aku bergumam. Entah kepada siapa kata itu aku tujukan. Kepadaku, atau kepada Sri kekasihku. Gara-gara aku, Sri juga telah menjadi serigala jadi-jadian. Ia terkontaminasi oleh transformasi gelapku.

Matahari sudah meninggi. Aku dan Sri melangkah pulang. Dengan perasaan yang tidak karuan. Tidak menentu. Bahwa dalam tubuh kami telah mengalir darah hitam serigala. Benar-benar sebuah keadaan yang tidak biasa. Tidak seorang pun yang menginginkan hal ini terjadi pada diri mereka.

Waktu terus berlalu. Tentu dengan warna kehidupan yang terjadi di dalamnya. Sesekali masih mewujud dalam pikiranku akan hakikat transformasi. Mengapa hal ini harus terjadi? Aku hanya bertanya kepada hari-hariku yang terus berlalu. Menghitung detak detik ke menit. Dari hari ke minggu. Dan dari bulan ke tahun. Maka, tanggal 13 bulan purnama pun kembali terulang. Malam yang merasuk tubuhku, dan juga tubuh Sri akan kembali ditayangkan. Aku hanya mampu menghela nafas.

“Mas, apa yang harus kita perbuat?” sehari sebelum 13 bulan purnama Sri berkata sedih kepadaku. Aku hanya mampu menggeleng, mendesah dan memandang cakrawala. Awan hitam bergelantung di ufuk. Kelam, seresah pikiranku yang tidak menentu. Entah apa yang harus aku pernuat agar terlepas dari belenggu manusia serigala.
“Aku juga tidak tahu Sri. Apa yang harus aku perbuat. Aku dan Kamu Sri, tidak bisa lepas dari belenggu manusia serigala ini.”
“Apakah ini sebuah kutukan Mas?”
“Aku tidak mengerti. Kalau memang kutukan,...” aku menarik nafas dalam-dalam, “Kutukan dari mana?”
“Mungkin dari salah satu orang tua kita Mas?”
“Tidak logis, jika kutukan itu harus aku dan Kamu Sri yang harus menanggung akibatnya.”
“Hem, sebuah misteri yang paling mistis,” Sri seperti berkata pada dirinya sendiri. Sebuah gumam yang tidak jelas ke mana arah dan tujuannya.

Senja merona. Membiaskan awan merah yang cerah. Secerah bulan purnama yang sebentar lagi, tanggal 13 akan segera bertahta. Aku dab Sri duduk di sebuah batu besar. Di belakang rumah. Jauh dari pandang, di sana, di bagiab jauh ke dalam, rimbun hutan menyisakan sebuah misteri. Ragam sakral, dan dunia astra begitu kuat eksistensinya. Begitu yang terjadi dan sedang bergayut di alam pikirku saat ini. Begitu juga pikiran Sri. Berkecamuk dunia lycan, di luar alam sadar manusia. Mistis, sekaligus miris.

Senja terus merambat. Tanpa sadar aku dan Sri menuju tanah lapang di dalam hutan. Sungguh begitu saja. Tanpa sadar. Dan tanpa disengaja. Naluri manusia serigala mulai menjalar.

Purnama mulai merayap. Malam tanggal 13 kali ini begitu resah. Resah oleh keadaan yang sebenarnya tidak diinginkan. Keadaan yang sesungguhnya tidak disadari. Begitu saja, dan seketika.

Aku memandaang wajah Sri yang bukan wajahnya. Memperhatikan tubuh Sri yang bukan tubuhnya. Membaca alam pikir Sri yang bukan logikanya. Sri adalah cermin diriku sendiri. Ketika pelan tapi pasti, tubuhnya mulai berubah. Bulu-bulu kasar mulai tumbuh. Semakin lama semakin banyak. Kuku-kuku tajam mulai bermunculan, dan taring yang siap menerkam tiba-tiba saja mengaum.

“Aauuu.....gghhhhhh,” Sri mengaum keras. Berdiri bulu kuduk bagi yang mendegarnya.
“Auuuu....gghhhhhh, “ aku yang juga sudah menjadi pejantan menimpali. Bersahutan, di dalam hutan yang semakin kelam.

Malam ini naluri manusia serigala mengajak mencari mangsa. Tentu di dalam hutan yang lebat ini tidak ada seorang manusia pun. Hanya binatang-binatang kecil, melata yang tidak menjadi target mangsaku dan Sri. Naluri serigalaku mengajak ke luar hutan. Mencari manusia sebanyak-banyaknya. Menjadikan mereka manusia serigala. Semuanya, tanpa kecuali.

“Sri, ayo kita ke luar hutan,” ajakku pada Sri.
“Ayo Mas. Kita cari mangsa sebanyak-banyaknya. Kita jadikan teman semuanya,” seringai Sri. “Aaauuuuu......gghhhhh,” kemudian Sri mengaum keras di antara sepi hutan yang menakutkan.

Tanpa komando, aku dan Sri meloncat. Berlari di antara cerah purnama yang bersinar terang. Dengan mata yang begitu tajam, merah menyala, mencari mangsa di perkampungan. Jeritan dan erangan terjadi dimana-mana. Dari satu mangsa ke mangsa yang lainnya. Dari satu orang ke orang yang lain pula. Dengan sekali gigit, mereka pun seketika berubah menjadi manusia serigala. Dan mereka pun siap mencari mangsa yang lainnya.

Begitulah rantai mangsa memangsa pun terjadi di malam itu. Di malam purnama tanggal 13. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari serangan si manusia serigala. Maka malam itu juga, manusia sekampung telah menjadi serigala. Manusia-manusia serigala yang hau darah. Tumpahan dan ceceran darah di mana-mana. Anyir dan bau amis darah telah menjadi keasyikan tersendiri bagi manusia-manusia serigala ini.

Sri menghilang entah dimana. Aku mencoba mencarinya ke sana-ke mari. Tapi aku tetap tidak bisa menemukannya. Ia hilang bagai ditelan bumi. Aku mencoba bertanya dari satu serigala ke serigala yang lainnya. Tapi mereka tidak menmukannya.

“Aauuuuu........ggghhhhh!” aku mencoba memanggil nama Sri. Tetapi yang dipanggil tak kunjung menyahut. Tiak ada sahutan sama sekali. Kecuali jerit dan lolongan serigala lain yang tidak aku pedulikan. Sekali lagi,
“Aauuuuuu.......ggghhhh, (Sri, kemarilah. Jangan tinggalkan aku),” aku mengaum, melolong di bawah cahaya purnama yang semakin berpendar.

Puluhan manusia serigala berpesta. Tidak, bukan hanya puluhan, tapi ratusan atau bahkan ribuan serigala sedang berpesta. Minum darah, atau mencabik daging yang entah daging apa. Menyeringai, mengaum, melolong di antara malam yang semakin larut.

Malam itu dunia telah berubah. Manusia telah menjadi serigala. Tidak tahu teman tidak tahu lawan. Yang kuat yang menang. Yang sadis yang menjadi pimpinan. Tidak ada lagi pertolongan. Tidak ada lagi bantuan. Yang kalah harus tunduk dan mengabdi. Dan yang menang, dengan sendirinya diangkat menjadi raja rimba. Raja manusia serigala.

Hem. Sampai saat ini, detik ini juga, di muka bumi ini masih bertahta nafsu serigala. Manusia berhati serigala begitu banyak memenuhi tanah ini.